2 tantangan menggunakan AI untuk pendidikan inklusif di Indonesia

● AI berpotensi mempersonalisasi pembelajaran bagi siswa dengan disabilitas.

● Namun, ketimpangan infrastruktur digital dan bias data pelatihan dapat membuat sistem AI tidak inklusif.

● Tanpa literasi digital yang memadai dan pelatihan guru yang tepat, AI justru bisa menjadi beban tambahan.

Perkembangan kecerdasan buatan (AI) berpotensi besar menciptakan pengalaman belajar yang lebih adaptif bagi siswa dengan disabilitas . AI dapat memberikan personalisasi pembelajaran berbasis data , yang memungkinkan materi ajar disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan individu.

AI juga membuka peluang pemerataan akses materi belajar di wilayah minim tenaga pengajar maupun infrastruktur terbatas . Selain itu, fitur-fitur AI (seperti text-to-speech , speech recognition , dan chatbot edukatif) dapat membantu anak dengan disabilitas) .

Chatbot berbasis AI, misalnya, telah dimanfaatkan untuk membantu orang dengan neurodivergent (memiliki cara kerja otak yang berbeda dari orang pada umumnya).

Tak heran, makin banyak negara menggunakan AI untuk meningkatkan akses pendidikan bagi anak-anak, remaja, dan orang dewasa dengan disabilitas.

Namun, inklusivitas dalam pendidikan tidak terbatas pada penyediaan akses bagi anak dengan disabilitas saja. Kelompok inklusif juga mencakup mereka yang tinggal di daerah terpencil dan siswa berlatar belakang sosial ekonomi rendah .

Artinya, aksesibilitas di wilayah terpencil serta rendahnya literasi digital di kalangan tenaga pendidik menjadi salah satu tantangan utama dalam pemanfaatan AI untuk pendidikan inklusif di Indonesia.

Akses terbatas ciptakan bias

Aksesibilitas pemanfaatan AI merupakan salah satu tantangan utama karena kompleksitas geografis dan sosial Indonesia. Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat (sekitar 282,5 juta jiwa yang tersebar di lebih dari 17.500 pulau), keberagaman geografis dan profil sosial ekonomi masyarakat Indonesia turut berkontribusi terhadap kesenjangan digital yang terjadi.

Terlebih, banyak wilayah sulit diakses sehingga memperparah keterbatasan infrastruktur digital . Ini membatasi pemerataan pemanfaatan teknologi pendidikan.

Misalnya di Katingan, Kalimantan Tengah, ada desa-desa yang tidak memiliki jaringan internet memadai. Wilayah ini didominasi sungai dan hutan sehingga distribusi infrastruktur digital menjadi sangat mahal dan sulit . Warga harus mencari tempat tinggi atau memanjat pohon demi sinyal.

Ketimpangan distribusi akses internet ini memunculkan bias dalam sistem AI . Pasalnya, teknologi AI umumnya dikembangkan dan dilatih menggunakan data dari wilayah yang lebih mapan secara digital .

Wilayah-wilayah dengan infrastruktur teknologi yang kurang berkembang sering kali terpinggirkan dari ekosistem inovasi kecerdasan buatan (AI). Akibatnya, sistem AI cenderung mencerminkan kebutuhan dan konteks pengguna dari kelompok yang memiliki infrastruktur lebih baik.

Ini menimbulkan risiko terabaikannya karakteristik dan kebutuhan kelompok pengguna dari wilayah yang kurang terjangkau secara digital. Padahal guna memperkecil kesenjangan, AI seharusnya digunakan untuk mendorong mobilitas dua arah antara tenaga pendidik di wilayah urban dengan di pedesaan .

Selain itu, karena AI sangat bergantung pada training data, keberagaman dan keterwakilan data menjadi krusial. Sistem AI umumnya dilatih menggunakan data dari populasi umum, tanpa mempertimbangkan variasi kebutuhan khas anak dengan disabilitas. Akibatnya, output yang dihasilkan cenderung kurang relevan atau bahkan tidak sesuai dengan konteks mereka.

Ketika data pelatihan tidak mewakili populasi secara inklusif—terutama siswa dari latar belakang sosial, budaya, atau geografis berbeda— sistem AI berpotensi menghasilkan output yang bias, atau bahkan diskriminatif . Dalam konteks pendidikan inklusif, risiko ini menjadi sangat serius karena dapat memperlebar kesenjangan.

Ketika kelompok tertentu (misalnya kelompok minoritas) kurang terwakili dalam data, model AI mungkin gagal memberikan hasil yang adil .

Inggris pernah mengalami ini pada tahun 2020 . Saat itu, pemerintah Inggris membatalkan ujian akhir SMA karena pandemi COVID-19. Sebagai gantinya, guru diminta memberikan prediksi nilai siswa berdasarkan performa akademis mereka. Nilai ini kemudian disesuaikan oleh Ofqual (lembaga pengatur ujian) dengan menggunakan algoritma berbasis AI yang dirancang untuk mempertimbangkan rekam jejak sekolah.

Namun, karena Ofqual menggunakan AI yang hanya dilatih dengan data sekolah-sekolah di kota, hasil prediksi nilai tersebut menjadi bias dan tidak adil —terutama bagi siswa dari sekolah-sekolah di daerah pedesaan atau sekolah dengan performa historis yang lebih rendah. Model AI mengasumsikan bahwa sekolah-sekolah tersebut cenderung menghasilkan nilai rendah secara konsisten .

Hasilnya, sekitar 40% nilai mengalami penurunan dari prediksi guru , sementara hanya 2% yang meningkat. Siswa berprestasi dari sekolah kurang mampu paling terdampak, sedangkan siswa dari sekolah elite cenderung diuntungkan.

Kasus ini menunjukkan bahwa AI memang tidak netral sejak awal. Ketika model AI belajar dari data historis yang tidak seimbang atau menyimpan ketimpangan sosial sebelumnya, maka ia akan memperkuat ketimpangan tersebut dengan mereplikasinya.

Bila model AI dilatih dengan data yang tidak representatif (misalnya hanya dari sekolah-sekolah unggulan), ia akan mengabaikan keragaman konteks sosial dan merugikan kelompok tertentu. Ini adalah contoh nyata bagaimana ketimpangan digital dan bias dalam data pelatihan AI dapat menciptakan ketidakadilan.

Berpotensi membebani, bukan membantu

Selain bias algoritma, rendahnya literasi digital juga menjadi tantangan nyata , baik bagi murid maupun guru. Banyak guru belum terbiasa memanfaatkan teknologi canggih, seperti AI dalam proses pembelajaran . Sehingga, AI justru berpotensi menjadi beban tambahan, alih-alih menjadi alat bantu.

Untuk membekali para pendidik agar mampu memanfaatkan AI secara efektif, diperlukan program pelatihan guru yang komprehensif dan berfokus pada keterampilan teknis, kesadaran etis, serta adaptasi pedagogis .

Pada akhirnya, keberhasilan penerapan AI di sektor pendidikan sangat bergantung pada bagaimana teknologi ini digunakan untuk menciptakan kesempatan belajar yang adil dan merata. Artinya, jaminan atas keadilan dan pemerataan ini perlu mendapat perhatian serius, agar AI tidak hanya menjadi simbol kemajuan teknologi, tetapi benar-benar berfungsi sebagai alat transformasi pendidikan yang inklusif.

Artikel ini pertama kali terbit di The Conversation , situs berita nirlaba yang menyebarluaskan pengetahuan akademisi dan peneliti.

  • Belajar koding dan AI tidak bisa terlalu dini: Perlu pendekatan bertahap dan kontekstual
  • Ramai-ramai tiru Ghibli: Isu hak cipta dan data pribadi di balik tren AI

Meicky Shoreamanis tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.

Belum ada Komentar untuk "2 tantangan menggunakan AI untuk pendidikan inklusif di Indonesia"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel